Senin, 30 Maret 2015

KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia 



Hayy apa kabar teman-teman? Mudah-mudahan selalu sehat ya :) 
Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan informasi mengenai KPK dan ISU TERKINI mengenai KPK.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (biasa disingkat KPK) adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini didirikan berdasarkan kepadaUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada PresidenDPR, dan BPK.
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial. Pada periode 2011-2015 KPK dipimpin oleh Ketua KPK Abraham Samad, bersama 4 orang wakil ketuanya, yakni ZulkarnaenBambang WidjojantoBusyro Muqoddas, dan Adnan Pandu Praja.

Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Orde Lama

Kabinet Djuanda

Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Operasi Budhi

Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.

Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. KasimoMr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama,BulogCV WaringinPT MantrustTelkomPertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Era Reformasi

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Tugas dan Fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi, mempunyai tugas:
  1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
  5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
  1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
  2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
  4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
  5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.




Berikut kasus/ISU TERKINI mengenai KPK yang dimuat dalam Liputan6.com, Jakarta pada tanggal 12 Maret  2015 :


Kabareskrim: Kasus Abraham Samad dan BW Ditunda, Bukan Dihentikan


Liputan6.com, Jakarta - Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Budi Waseso menegaskan, penyidik berhenti mengusut kasus yang membelit Ketua dan Wakil Ketua nonaktif KPK, Abraham Samad (AS)-Bambang Widjoyanto (BW). Namun dia menyatakan, 2 kasus tersebut tak diberhentikan atau mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).


"Begini, kita melengkapi berkas itu sendiri. Penundaan, ya bukan dihentikan. Kita melengkapi berkas, mungkin ada saksi lain, bukti lain," kata Komjen Pol Budi Waseso di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (12/3/2015).


Terkait kasus BW, Budi menuturkan, penyidiknya juga masih harus menyelesaikan penyidikannya. Menurut pria yang akrab disapa Buwas itu, masih ada beberapa berkas yang harus dilengkapi."Kan belum 100 persen, 5 persen kan kita akan lengkapi. Bagusnya kan bulat 100 persen," tutur Buwas.
Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka pada akhir Januari 2015. Bambang merupakan kuasa hukum Ujang Iskandar yang pada 2010 menjadi calon Bupati Kotawaringin dan menang di sidang di MK.

Bambang Widjojanto dikenakan Pasal 242 ayat (1) KUHP tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu jo Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP jo Pasal 55 ayat (2) ke dua KUHP jo Pasal 56 KUHP.

Pada Rabu, 11 Maret 2015, BW memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Mabes Polri terkait kasus dugaan mengarahkan kesaksian palsu pada sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi 2010. Dia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Zulfahmi Arsyad (ZA). 
Sementara itu Polda Sulselbar menetapkan ketua nonaktif KPK Abraham Samad sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen. Dia diduga membantu seorang perempuan, Feriyani Lim, memalsukan dokumen kependudukan pada 2007 lalu.


Kasus ini dibuka setelah KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan --saat itu calon kapolri-- sebagai tersangka pada 13 Januari 2015. Abraham Samad dilaporkan ke Bareskrim Polri pada Januari 2015.
Samad disangkakan dengan Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP subsider Pasal 264 ayat 1 dan 2 KUHP lebih subsider Pasal‎ 266 ayat 1 dan 2 dan atau Pasal 93 Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Mungkin itu sebagian dari ISU TERKINI mengenai KPK, semoga apa yang saya berikan dapat bermanfaat. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar